Sudahkah Buruh Sejahtera Hari ini?


Doc. Pelitaonline.com
Unjuk rasa yang dilakukan buruh terus berulang setiap tahun, mereka berunjuk rasa untuk isu yang sama yakni mengenai upah. Tiga pihak yang terkait di dalam isu ini yaitu pemerintah, pengusaha dan buruh, agaknya melihat persoalan ini dengan cara pandang yang berbeda sehingga sulit menemukan titik temu.
Untuk tahun 2012 saja, di Karawang, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia mengancam akan melakukan aksi mogok kerja secara massal jika upah minimum kabupaten pada 2012 tidak dinaikkan menjadi 100 persen Kebutuhan Hidup Layak yang angkanya mencapai Rp1.387.133.  Di  Bekasi, sekitar 1.000 orang buruh dari Gerakan Serikat Buruh Indonesia (Gesburi) berunjuk rasa menuntut kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kantor Bupati Bekasi, Jawa Barat. Mereka  menuntut Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk menaikkan UMK sebesar 100 persen dari UMK tahun 2011. Di Kabupaten Bandung, sekitar 25 ribu buruh dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) berunjuk rasa di depan komplek Pemkab Bandung. Mereka mendesak kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) 2012 sebesar 10 persen UMK 2011 Rp1.123.800 . Sementara itu di Kota Bandung, Kadisnaker Kota Bandung Hibarni Andan Dewi mengimbau perusahaan untuk patuh jika UMK 2012 yang diusulkan naik tujuh  persen, nantinya disahkan.  Dengan kenaikan itu maka UMK Kota Bandung akan naik dari Rp 1.271.625 pada 2012 dari yang sebelumnya Rp 1.188.435.
Demo para buruh yang menuntut kenaikan gaji UMR terbilang memprihatinkan dan menyedihkan. Mengapa memprihatinkan? Karena saat ini untuk menaikkan kesejahteraan, para buruh harus terlebih dahulu melakukan aksi demonstrasi.  Kemudian sekaligus menyayangkan, karena sistem produksi di banyak pabrik lumpuh serta mengganggu ketertiban umum. Banyak orang yang pro dan kontra mengenai aksi buruh ini, ada juga orang yang peduli dan skeptis.  Tetapi banyak pertanyaan berapa sebetulnya gaji UMR di tiap Kota di Indonesia di tahun 2012?
Orang yang menganggap skeptis berpikir bahwa aksi yang dilakukan para buruh ini tentunya tidak harus sampai menutup akses jalan. Kemudian bagaimana apabila produksi pabrik mereka bekerja lumpuh, kemudian perusahaan gulung tikar? Bukankah mereka menjadi tidak bisa bekerja dan mendapatkan uang lagi? Kemudian orang skeptis yang terakhir mengatakan apabila gaji mereka kecil, mengapa tidak pindah atau berwirausaha? Tetapi apapun yang dilakukan para buruh menuntut kenaikan gaji UMR 2012 ini memang harus dilakukan karena melihat semakin naiknya harga-harga barang kebutuhan pokok.
Tidak bisa dipungkiri memang, diantara banyak permasalahan seputar buruh, permasalahan mengenai kesejahteraan merupakan masalah yang sensitif yang selalu dibicarakan karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Dari tahun ke tahun permasalahan klasik yang muncul adalah keinginan buruh untuk menaikkan upah mereka. Hal ini dikarenakan upah yang mereka terima tidak sebanding atau mencukupi untuk memenuhi kebutuhan riil. Kalau diibaratkan kenaikan harga kebutuhan pokok "berlari" sedangkan upah buruh justru "jalan ditempat" tidak ada peningkatan atau malah justru mundur.
Di Indonesia, ketika kita berbicara tentang buruh, buruh itu selalu diidentikkan dengan kemiskinan, kumuh, untuk makan "harus gali lobang tutup lobang", termarginalkan. Buruh inilah yang kemudian dilihat dari tingkat kesejahteraannya berada pada level bawah masyarakat. Padahal, buruh itu merupakan salah satu unsur pendukung dari unit produksi yang memegang peranan penting dalam menghasilkan suatu produk.
Di sisi lain, pengusaha atau pemilik modal selalu melihat buruh sebagai budak yang mereka pekerjakan dengan upah seadanya sesuai kemampuan pengusaha, sehingga tidak jarang upah buruh yang sudah minim dipotong sana sini bahkan di tunda pembayarannya gara-gara alasan ketidakmampuan pemilik modal. Buruh dipandang sebagai faktor produksi yang sama dengan faktor produksi lain misalnya bahan baku, yang apabila tidak dibutuhkan lagi akan diganti, dibuang seenaknya tanpa ada kompensasi dan memiliki keuntungan di mata pemilik modal. Mereka hanya layaknya sebuah alat produksi yang menghasilkan barang. Kondisi yang seperti ini akan menciptakan kebosanan dan akhirnya akan menurunkan produktivitas. Rendahnya produktivitas inilah yang menjadi senjata pemilik modal untuk memberikan tingkat kesejahteraan buruh yang sangat rendah.
Kemudian posisi buruh yang serba sulit juga disebabkan oleh hubungan antara buruh dan pengusaha. Dimana-mana, antara buruh dan pengusaha selalu memiliki perbedaan kepentingan yang mendasar. Di pihak buruh, motif utama ia bekerja kepada pengusaha adalah untuk mendapat upah, sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan untuk berproduksi. Upah yang diharapkan tidak hanya sekedar untuk memulihkan tenaganya agar dapat bekerja kembali keesokan harinya (sekedar hidup), namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya secara layak sesuai dengan standar manusiawi. Di pihak pengusaha, laba dan terus mendapatkan laba sebanyak-banyaknya adalah tujuan yang utama.
 Dua kepentingan yang bertolak belakang tersebut akan menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara buruh dengan pengusaha. Buruh tidak bisa menuntut apa-apa karena hidup mereka berada ditangan pengusaha. Solusi yang mungkin bisa membantu buruh adalah munculnya peran pihak ketiga yang mampu menjembatani sekaligus memiliki kekuatan untuk menekan pengusaha yang dalam posisi ini dipegang oleh pemerintah. Kenyataannya, pemerintah pun kemudian tidak bisa berbuat apa-apa bahkan cenderung di atur pengusaha sehingga buruh harus memperjuangkan nasibnya sendirian.
Kadang kala, buruh dituntut untuk berkompetisi dengan buruh lain untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas mereka demi mengejar kesejahteraan (bonus) yang lebih besar. Dengan kata lain, antar sesama buruh kemudian saling bersaing satu sama lain yang dalam konteks solidaritas kemudian inilah yang menghambat terbentuknya solidaritas kolektif sesama buruh. Konsekuensinya, serikat buruh tidak mendapat dukungan penuh dari semua buruh dan pemilik modal diuntungkan dengan kondisi ini.
Sistem kontrak dan outsourcing pun turut menjadi faktor penyebab sulitnya kaum buruh untuk mendapatkan kesejahteraannya. Sistem kontrak memunculkan praktek eksploitasi terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Buruh harus menyalurkan beberapa persen dari gaji mereka yang minim untuk disalurkan pada perusahaan yang membawa mereka. Hal ini terpaksa harus mereka lakukan demi mempertahankan pekerjaan mereka. Bagaimana buruh mau sejahtera?
Upah kerja yang diterima buruh diibaratkan minimum, namun jam kerjanya maksimum. Bayangkan saja, umumnya pekerja itu di upah dengan ukuran perjam, tetapi di Indonesia untuk delapan jam mereka membayar upah sama dengan upah karyawan satu jam. Walaupun upah yang mereka terima sangat minim, tetapi pekerjaan yang harus mereka lakukan persis sama dengan karyawan tetap. Problem lainnya, selama ini upah buruh tidak sebanding dengan pengeluaran yang harus buruh keluarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Upah yang diterima mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri.
Permasalahan mengenai peningkatan kesejahteraan buruh kiranya tidak akan dapat dipecahkan oleh buruh sendiri atau negara bahkan pengusaha. Masing-masing pihak tentu mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Buruh tentu saja ingin meningkatkan taraf kehidupannya, negara ingin berperan besar dalam mengetas kemiskinan dan membuka banyak lapangan kerja, dan pengusaha selalu berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ketiga pihak inilah yang kemudian dituntut untuk saling berdiskusi satu sama lain untuk memberikan pemecahan dalam kaitannya dengan kesejahteraan buruh.
Solusi pertama datang dari buruh, yakni dengan meningkatkan solidaritas kaum buruh. Serikat buruh dapat dijadikan ujung tombak, tapi harus benar-benar solid jika ingin melakukan perubahan. Kita dapat berkaca pada beberapa negara maju yang efektif memanfaatkan serikat buruh untuk mengubah suatu kebijakan.  Dan salah satu cara yang bisa dikembangkan dari serikat buruh ini adalah dengan membentuk koperasi yang nantinya akan menjamin mereka apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Selain sebagai jaminan sosial, koperasi juga mampu menghimpun dana buruh untuk melakukan aksi.
Solusi kedua datang dari pemilik modal. Perubahan cara pandang mereka terhadap buruh harus diubah. Buruh bukan lagi alat atau faktor produksi, tetapi merupakan partner. Cara lain adalah dengan Corporate Social Responsibility (CSR) suatu bentuk tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat.
Solusi yang ketiga datang dari negara. Negara akan memainkan peran penting dalam peningkatan kesejahteraan buruh. Kebijakan mengenai UMR perlu disempurnakan. UMR harusnya berkaca pada tingkat kebutuhan riil tenaga kerja dan disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan yang pemerintah keluarkan seharusnya memenuhi sisi keadilan, sehingga negara tidak lagi lebih condong kepada pihak pemilik modal dan dijadikan boneka pengusaha, tetapi mampu menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan penjaminan hak-hak masyarakat.

Related Post



Post a Comment