Idealisme mahasiswa ikut tergerus zaman

Perubahan jabatan dari siswa menjadi mahasiswa seperti suatu yang sangat sakral dan membanggakan bagi sebagian besar dari kita. Cukup dengan penambahan suku kata ‘maha’, menjadikan kata siswa begitu agung dan penuh dengan perubahan. Yang awalnya setiap hari harus menjalani rutinitas di sekolah, dari pagi hingga siang atau sore, dengan pelajaran yang sudah dibakukan menjadi kurikulum, memakai seragam setiap hari. Kemudian seketika, frasa ‘maha’ itu membuat semuanya berubah. Kuliah dengan waktu yang tidak ber-pakem lagi, dengan mata kuliah yang bisa kita pilih sendiri, dan yang biasanya paling ditunggu-tunggu seorang siswa yang beranjak menjadi mahasiswa adalah tidak perlu lagi memakai seragam untuk ke kampus. Namun sedemikian sederhanakah perbedaan yang akan dialami dalam proses transformasi dari siswa menjadi mahasiswa? Tentu tidak.
Mahasiswa identik dengan sederet titel sosial mulai dari agent of change, agent of social control. Bahkan, menurut sebagian besar masyarakat menyebut mahasiswa adalah orang yang serba bisa, serba tahu berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Hal ini menjadikan mahasiswa sebagai kaum elit dan terhormat dibanding dengan kaum muda lainnya. Kaum intelektual.
Menjadi mahasiswa tak lengkap rasanya kalau tidak mempunyai satu sifat naluri idealisme, idealisme muncul seiring dengan kedewasaan mahasiswa itu sendiri, ditunjang dengan lingkungan kampus yang menjadikan mahasiswa mempunyai pendirian teguh di kala benar dan salah.
Mestinya, idealisme akan selalu melekat dalam nurani setiap insan manusia. Dalam hidup dan kehidupan, idealisme adalah suatu nilai yang sangat penting. Idealisme menunjukkan adanya kehendak untuk menggapai masa depan yang lebih baik dan bermakna bagi kehidupan. Idealisme bukan sesuatu yang sifatnya statis. Idealisme adalah sesuatu yang dinamis dan bergerak sesuai dengan konteks perkembangan jaman. Sebagai gambaran, idealisme bangsa di masa penjajahan adalah memerdekakan bangsa dan idealisme di masa kini adalah bagaimana kemampuan dan kesungguhan kita dalam mengisi kemerdekaan yang telah kita raih itu
Beberapa pengalaman membuktikan, idealisme seseorang itu akan berkorelasi positif dengan bertambahnya usia seseorang. Akibatnya, wajar terjadi sekiranya di kala dirinya muda atau tatkala menjadi mahasiswa, kadar idealismenya akan sangat tinggi, namun setelah dirinya bekerja dan berumahtangga, maka idealisme yang dimilikinya pun mengalami pemudaran.
Suasana yang demikian, bukanlah sekedar omong kosong. Walau tidak berlaku universal, umumnya mereka yang ketika menjadi mahasiswa terlihat getol berteriak dan melakukan pengkritisan atas berbagai kebijakan Pemerintah yang dinilainya tidak pro rakyat, namun setelah dirinya lulus dari Universitas kemudian bekerja di Pemerintahan, teriakan-teriakannya itu mulai menghilang dan hampir tidak terdengar lagi. Dirinya terlihat asyik dengan pekerjaan yang harus digarapnya, dan terkadang menjadi tidak peduli lagi atas apa-apa yang tengah tercipta di masyarakat.
Terkadang idealisme yang sangat diagung-agungkan mahasiswa tidak cukup hanya karena sadar saja, melainkan butuh komitmen untuk menjalankannya. Mahasiswa yang berkewajiban sebagai agent of countrol memang mudah mengontrol penguasa. Mudah, karena tidak diposisi mereka (si penguasa). Kalau sudah diposisi seperti itu, belum tentu mampu mempertahankan idealisme tadi.
Salah satu contoh kecil saja, di saat tahun ajaran baru. Ditengah kampus menaikkan biaya perkuliahan, organ-organ intra mahasiswa yang dimana diduduki oleh orang-orang yang idealis tadi justru ikut menaikkan biaya masuk ke organ-organ mereka. Mereka justru penyumbang kesengsaraan pada orang tua calon mahasiswa baru yang tergolong kurang mampu. Mereka baluti aksi mereka itu sembari berkata, ini uang kaos, uang stiker, uang slayer, dan uang yang lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, fenomena tahun ajaran baru merupakan ladang basah bagi mahasiswa lama. Tanpa disadari setiap tahunnya idealisme mahasiswa lama runtuh, yang mereka gadaikan pada kepentingan semu.
Contoh lainnya, ada seseorang yang dulunya adalah orang yang selalu membela kepentingan rakyat ketika masih kuliah. Pikirannya tajam, setajam pisau, mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintahan kala itu. Tetapi sekarang, karena dia menggantungkan ekonomi keluarga pada sebuah bisnis yang dirintisnya sendiri, maka lunturlah semua yang diidealkannya semasa kuliah dulu. Sogok kanan, sogok kiri, kolusi, dan lain-lain perbuatan tercela dilakukannya demi memperoleh order untuk perusahaannya. Dia bisa saja berkilah kalau perusahaan bangkrut, maka banyak karyawan yang akan di PHK. Ujung-ujungnya rakyat kecil juga yang kena.
Selain itu jika di gambarkan, mahasiswa jaman sekarang hanya memikirkan 3K yaitu kekuasaan , kepentingan dan keuangan / uang. Tiga pilar tersebut seolah telah membutakan pikiran dan arah perjuangan mahasiswa untuk memperjuangkan hal-hal yang patut untuk diperjuangkan. Berbeda dengan mahasiswa jaman dahulu seperti angkatan 80-an sampai era 90-an dimana transformasi perjuangan mahasiswa disini dilakukan untuk tujuan yang jelas tanpa ada embel-embel apapun. Idealisme yang mereka bawa pada saat itu mempunyai satu tujuan yang sama yaitu keadilan, kebebasan dan kemakmuran yang lebih baik. Tidak ada kata lain selain tiga hal tersebut yang diperjuangkan. Idealisme mahasiswa kala itu adalah idealisme yang benar dan bertanggung jawab dalam kacamata kebenaran tujuan dan arah pergerakan mahasiswa.
Idealisme era sekarang dan dulu sudah tidak sama lagi dalam konteks perjuangan dan pergerakan mahasiswa dalam berpikir dan bertingkah laku, terjadi pergeseran amat jauh dari beberapa segi kehidupan yang ada mulai dari kebebasan yang tak bertanggung jawab sampai pada masuk ke ranah hal-hal yang terlewat batas norma perilaku kehidupan sehari-hari.
Di sinilah pentingnya berkaca dari masa lalu. Semangat intelektualitas di era 80-an mesti dihidupkan kembali. Semangat perjuangan dan pergerakan mahasiswa dalam menyuarakan “benar katakan benar dan salah katakan salah", yang lantas melahirkan kritisisme, kepekaan sosial, dan idealisme tinggi.
Seharusnya keberadaan mahasiswa yang menjadi salah satu bagian dari ‘pemuda’ akan mampu memberikan sumbangsih yang pada akhirnya membawa kebermanfaatan bagi diri kita secara pribadi, orang lain, bangsa Indonesia, dan agama yang kita yakini. Terdengar klise memang. Tapi tak ada salahnya berpikiran seperti itu. Baiknya idealisme yang kita semua agung-agungkan itu tidak akan luntur setelah kita terlepas dari status sebagai mahasiswa dan terjun di kehidupan yang sesungguhnya.
Namun jika berpikir secara minimalis, setidaknya mereka yang saat ini tidak idealis, pernah menjadi idealis dan berjuang dengan tulus untuk rakyat, untuk perubahan, daripada tidak pernah menjadi idealis sama sekali, walaupun diujung cerita jalan hidup menentukan yang berbeda. Setidaknya mereka telah berhasil menumbangkan sebuah tirani orde baru, walaupun akhirnya mereka terlibat dalam pembentukan tirani berikutnya.

Related Post



Post a Comment