![]() |
Semangat mereka ketika belajar Tajwid (Doc. Pribadi) |
Semangat anak-anak yang kebanyakan berasal dari keluarga
kurang mampu itu patut di acungi jempol. Ditengah-tengah era globalisasi ini
mereka masih mau menuntut ilmu agama, yang mana jika dilihat anak-anak sekarang
sudah terkontaminasi oleh kemajuan teknologi dan segala hal yang serba instan,
terutama di masyarakat perkotaan. Ternyata masih ada anak-anak di kampung yang
semangat setiap hari pergi ke mengaji.
Pergi mengaji mereka terapkan sudah seperti sebuah kewajiban, tanpa ada paksaan. Pihak mesjid dan pengajar pun tidak menuntut sepeser uang atau SPP dari murid-muridnya. Awalanya, seorang tokoh agama di lingkungan mesjid merasa prihatin dengan kondisi anak-anak yang kurang mampu tidak dapat pergi ke TKA atau TPA dikarenakan tidak punya uang untuk membayar SPP ngaji. Oleh inisiatifnya itulah dia membebaskan biaya mengaji di Madrasah yang diberi nama Madrasah Al-Ikhlas itu.
Pergi mengaji mereka terapkan sudah seperti sebuah kewajiban, tanpa ada paksaan. Pihak mesjid dan pengajar pun tidak menuntut sepeser uang atau SPP dari murid-muridnya. Awalanya, seorang tokoh agama di lingkungan mesjid merasa prihatin dengan kondisi anak-anak yang kurang mampu tidak dapat pergi ke TKA atau TPA dikarenakan tidak punya uang untuk membayar SPP ngaji. Oleh inisiatifnya itulah dia membebaskan biaya mengaji di Madrasah yang diberi nama Madrasah Al-Ikhlas itu.
Asri, salah seorang guru yang mengajar di Madrasah merasa
bangga masih ada anak-anak yang mau mengaji di Madrasah itu. Dengan kondisi yang
sederhana jika dibandingkan dengan TKA atau TPA yang ada disekitar sana,
murid-muridnya masih percaya bahwa kualitas Madrasah tempat mereka mengaji
sejajar dengan TKA dan TPA yang ada.
Pelajaran yang diberikan pun tidak jauh berbeda, mereka
setiap hari diwajibkan tadarus Iqra’ atau Al-Qur’an, belajar menghapal
surat-surat pendek, menulis huruf Arab, belajar sejarah agama Islam, menghapal
urutan nama-nama surat beserta artinya, belajar tajwid Al-Qur’an, dan masih
banyak lagi.
Anak-anak yang berasal dari berbagai golongan usia itu,
dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok anak yang masih Iqra’ dan anak yang sudah
bisa membaca Al-qur’an. Bagi anak yang belum masuk Sekolah Dasar, mereka juga
diajari dasar-dasar belajar huruf, membaca, menulis, berhitung layaknya di TK.
Lulusan dari Madrasah ini pun tidak mengecewakan, Febi
salah seorang anak yang belajar di Madrasah Al-Ikhlas ini sudah bisa membaca,
menulis dan berhitung sebelum masuk SD. Orangtua Febi mengaku saat itu ia tidak
punya biaya untuk memasukkan Febi ke TK. Dan hasilnya tidak mengecewakan,
orangtua Febi merasa bangga anaknya bisa mengaji di Madrasah Al-Ikhlas dan
hingga saat ini Febi masih mengaji di Madrasah itu.
Bagi Asri dan Jijah yang juga mengajar di Madrasah itu,
mengajar anak-anak mengaji bukan soal bekerja atau sebuah profesi yang harus
dibayar. Melainkan sebuah pengabdian kepada masyarakat agar anak-anak di tempat
mereka tinggal tidak menjadi anak-anak yang tidak tahu agamanya sendiri.
“Belajar agama itu sangat penting, dan mengajarkan ilmu agama kepada orang lain
bagi saya sangat mulia”, begitu ungkap Asri.
Asri dan Jijah ikhlas menerima imbalan hanya seratus lima
puluh ribu rupiah setiap bulannya, itupun harus mereka bagi dua. Dengan atau
tanpa imbalan, mereka mengaku ikhlas mengajar. “Mengajar itu hitung-hitung
belajar juga, daripada diam di rumah tidak ada kerjaan”, ungkap Jijah yang juga
masih sekolah di kelas tiga sekolah menengah itu.
Keceriaan anak-anak selalu membuat mereka juga ikut
semangat dan senantiasa menyadari bahwa hidup ini punya makna untuk selalu
berbagi. Walau diakui mereka bahwa setiap anak mempunyai kemampuan yang
berbeda-beda, namun hal itu tidak membuat keinginan mereka untuk mengajar
surut. Justru hal itu lah yang selalu membuat mereka terus belajar dan belajar
untuk lebih meningkatkan kualitas mereka mengajar.
“Disini kita mengajar untuk berbagi sekaligus belajar
arti kehidupan yang sesungguhnya, karena hidup untuk berbagi itu sangat indah”
tutur Asri sembari tersenyum.
Post a Comment