Idealisme mahasiswa ikut tergerus zaman

Perubahan jabatan dari siswa menjadi mahasiswa seperti suatu yang sangat sakral dan membanggakan bagi sebagian besar dari kita. Cukup dengan penambahan suku kata ‘maha’, menjadikan kata siswa begitu agung dan penuh dengan perubahan. Yang awalnya setiap hari harus menjalani rutinitas di sekolah, dari pagi hingga siang atau sore, dengan pelajaran yang sudah dibakukan menjadi kurikulum, memakai seragam setiap hari. Kemudian seketika, frasa ‘maha’ itu membuat semuanya berubah. Kuliah dengan waktu yang tidak ber-pakem lagi, dengan mata kuliah yang bisa kita pilih sendiri, dan yang biasanya paling ditunggu-tunggu seorang siswa yang beranjak menjadi mahasiswa adalah tidak perlu lagi memakai seragam untuk ke kampus. Namun sedemikian sederhanakah perbedaan yang akan dialami dalam proses transformasi dari siswa menjadi mahasiswa? Tentu tidak.
Mahasiswa identik dengan sederet titel sosial mulai dari agent of change, agent of social control. Bahkan, menurut sebagian besar masyarakat menyebut mahasiswa adalah orang yang serba bisa, serba tahu berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Hal ini menjadikan mahasiswa sebagai kaum elit dan terhormat dibanding dengan kaum muda lainnya. Kaum intelektual.
Menjadi mahasiswa tak lengkap rasanya kalau tidak mempunyai satu sifat naluri idealisme, idealisme muncul seiring dengan kedewasaan mahasiswa itu sendiri, ditunjang dengan lingkungan kampus yang menjadikan mahasiswa mempunyai pendirian teguh di kala benar dan salah.
Mestinya, idealisme akan selalu melekat dalam nurani setiap insan manusia. Dalam hidup dan kehidupan, idealisme adalah suatu nilai yang sangat penting. Idealisme menunjukkan adanya kehendak untuk menggapai masa depan yang lebih baik dan bermakna bagi kehidupan. Idealisme bukan sesuatu yang sifatnya statis. Idealisme adalah sesuatu yang dinamis dan bergerak sesuai dengan konteks perkembangan jaman. Sebagai gambaran, idealisme bangsa di masa penjajahan adalah memerdekakan bangsa dan idealisme di masa kini adalah bagaimana kemampuan dan kesungguhan kita dalam mengisi kemerdekaan yang telah kita raih itu
Beberapa pengalaman membuktikan, idealisme seseorang itu akan berkorelasi positif dengan bertambahnya usia seseorang. Akibatnya, wajar terjadi sekiranya di kala dirinya muda atau tatkala menjadi mahasiswa, kadar idealismenya akan sangat tinggi, namun setelah dirinya bekerja dan berumahtangga, maka idealisme yang dimilikinya pun mengalami pemudaran.
Suasana yang demikian, bukanlah sekedar omong kosong. Walau tidak berlaku universal, umumnya mereka yang ketika menjadi mahasiswa terlihat getol berteriak dan melakukan pengkritisan atas berbagai kebijakan Pemerintah yang dinilainya tidak pro rakyat, namun setelah dirinya lulus dari Universitas kemudian bekerja di Pemerintahan, teriakan-teriakannya itu mulai menghilang dan hampir tidak terdengar lagi. Dirinya terlihat asyik dengan pekerjaan yang harus digarapnya, dan terkadang menjadi tidak peduli lagi atas apa-apa yang tengah tercipta di masyarakat.
Terkadang idealisme yang sangat diagung-agungkan mahasiswa tidak cukup hanya karena sadar saja, melainkan butuh komitmen untuk menjalankannya. Mahasiswa yang berkewajiban sebagai agent of countrol memang mudah mengontrol penguasa. Mudah, karena tidak diposisi mereka (si penguasa). Kalau sudah diposisi seperti itu, belum tentu mampu mempertahankan idealisme tadi.
Salah satu contoh kecil saja, di saat tahun ajaran baru. Ditengah kampus menaikkan biaya perkuliahan, organ-organ intra mahasiswa yang dimana diduduki oleh orang-orang yang idealis tadi justru ikut menaikkan biaya masuk ke organ-organ mereka. Mereka justru penyumbang kesengsaraan pada orang tua calon mahasiswa baru yang tergolong kurang mampu. Mereka baluti aksi mereka itu sembari berkata, ini uang kaos, uang stiker, uang slayer, dan uang yang lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, fenomena tahun ajaran baru merupakan ladang basah bagi mahasiswa lama. Tanpa disadari setiap tahunnya idealisme mahasiswa lama runtuh, yang mereka gadaikan pada kepentingan semu.
Contoh lainnya, ada seseorang yang dulunya adalah orang yang selalu membela kepentingan rakyat ketika masih kuliah. Pikirannya tajam, setajam pisau, mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintahan kala itu. Tetapi sekarang, karena dia menggantungkan ekonomi keluarga pada sebuah bisnis yang dirintisnya sendiri, maka lunturlah semua yang diidealkannya semasa kuliah dulu. Sogok kanan, sogok kiri, kolusi, dan lain-lain perbuatan tercela dilakukannya demi memperoleh order untuk perusahaannya. Dia bisa saja berkilah kalau perusahaan bangkrut, maka banyak karyawan yang akan di PHK. Ujung-ujungnya rakyat kecil juga yang kena.
Selain itu jika di gambarkan, mahasiswa jaman sekarang hanya memikirkan 3K yaitu kekuasaan , kepentingan dan keuangan / uang. Tiga pilar tersebut seolah telah membutakan pikiran dan arah perjuangan mahasiswa untuk memperjuangkan hal-hal yang patut untuk diperjuangkan. Berbeda dengan mahasiswa jaman dahulu seperti angkatan 80-an sampai era 90-an dimana transformasi perjuangan mahasiswa disini dilakukan untuk tujuan yang jelas tanpa ada embel-embel apapun. Idealisme yang mereka bawa pada saat itu mempunyai satu tujuan yang sama yaitu keadilan, kebebasan dan kemakmuran yang lebih baik. Tidak ada kata lain selain tiga hal tersebut yang diperjuangkan. Idealisme mahasiswa kala itu adalah idealisme yang benar dan bertanggung jawab dalam kacamata kebenaran tujuan dan arah pergerakan mahasiswa.
Idealisme era sekarang dan dulu sudah tidak sama lagi dalam konteks perjuangan dan pergerakan mahasiswa dalam berpikir dan bertingkah laku, terjadi pergeseran amat jauh dari beberapa segi kehidupan yang ada mulai dari kebebasan yang tak bertanggung jawab sampai pada masuk ke ranah hal-hal yang terlewat batas norma perilaku kehidupan sehari-hari.
Di sinilah pentingnya berkaca dari masa lalu. Semangat intelektualitas di era 80-an mesti dihidupkan kembali. Semangat perjuangan dan pergerakan mahasiswa dalam menyuarakan “benar katakan benar dan salah katakan salah", yang lantas melahirkan kritisisme, kepekaan sosial, dan idealisme tinggi.
Seharusnya keberadaan mahasiswa yang menjadi salah satu bagian dari ‘pemuda’ akan mampu memberikan sumbangsih yang pada akhirnya membawa kebermanfaatan bagi diri kita secara pribadi, orang lain, bangsa Indonesia, dan agama yang kita yakini. Terdengar klise memang. Tapi tak ada salahnya berpikiran seperti itu. Baiknya idealisme yang kita semua agung-agungkan itu tidak akan luntur setelah kita terlepas dari status sebagai mahasiswa dan terjun di kehidupan yang sesungguhnya.
Namun jika berpikir secara minimalis, setidaknya mereka yang saat ini tidak idealis, pernah menjadi idealis dan berjuang dengan tulus untuk rakyat, untuk perubahan, daripada tidak pernah menjadi idealis sama sekali, walaupun diujung cerita jalan hidup menentukan yang berbeda. Setidaknya mereka telah berhasil menumbangkan sebuah tirani orde baru, walaupun akhirnya mereka terlibat dalam pembentukan tirani berikutnya.

Setiap pencarian dan kepergian akan menemukan pulangnya sendiri.

Allah berfirman: “Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan. (QS : Al A’raaf, 25)
Kita, barangkali akan sangat kesulitan untuk memahami apa yang alam lakukan atau sederhananya apa yang alam inginkan. Seringkali kita luput, betapa tabah dan sabarnya ombak untuk meluluhkan tegar karang di tepian atau pasir yang merelakan diombang-ambing kemanapun sesenangnya arus ombak.
Segalanya tak pernah benar-benar pergi. Ombak yang setiap hari dengan tekun dan sabar meluluhkan karang, ada waktunya ia kembali dan tenang ke tengah lautan. Juga pasir yang acapkali dibawa ombak ke tengah laut, pada akhirnya dia kembali lagi ketepian. Hal-hal yang terombang-ambing di tengah lautan pula –misal kayu potongan kapal atau lainnya— satu waktu akan kembali lagi ke tepian atau dermaga atau pantai meskipun tanpa nahkoda dan penumpang.
Barangkali itulah contoh sederhana dari apa yang alam ingin sampaikan pada kita. Bahwa pulanglah yang sebenarnya kita cari pada kepergian dan pencarian ini. Sesuatu, seseorang dan segala yang sedang pergi dan mencari suatu hal, maka ia akan menemukan pulangnya sendiri; seperti matahari di barat dari jauh hari. Syukuri dan nikmati kepergian dan pencarian kita. Sebab pulang sudah menunggu dengan gembira.
Maka Maha Suci (Allah) yang ditangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS: Yasin, 83).

Opini mengenai Sistem Komunikasi Massa di Indonesia

Komunikasi Massa merupakan komunikasi yang menggunakan media massa, baik berupa media cetak seperti koran, atau juga yang menggunakan media elektronik seperti televisi , yang dikelola oleh sebuah institusi atau lembaga, yang ditujukan kepada banyak orang diberbagai tempat.
Dewasa ini, media massa memang merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri sangat dibutuhkan oleh masyarakat, setiap manusia membutuhkan informasi. Dengan pesatnya perkembangan media massa tentu saja sangat memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi kapan saja dan dimana saja. Media juga merupakan sebuah elemen penyalur informasi yang mempunyai pengaruh cukup kompleks, dikarenakan media tidak hanya mempengaruhi individu per individu tetapi media juga mampu merubah tataran kehidupan yang ada di masyarakat.  Media juga dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik.
Tayangan media massa sudah sangat beragam, ada beberapa media yang mengkhususkan pada hiburan, pendidikan, bahkan ada beberapa media yang lebih memusatkan pada penayangan informasi seputar kejadian aktual dan politik. Pada dasarnya, setiap media massa di haruskan memberikan suatu informasi yang dapat bermanfaat dan berguna untuk masyarakat. Namun pada kenyataannya tak semua media massa dapat menyajikan informasi yang bermanfaat dan mendidik.
Dikarenakan media massa telah dijadikan suatu kebutuhan yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, media massa akan memberikan suatu dampak tersendiri bagi masyarakat. Contohnya saja media mempunyai kekuatan dalam mengubah dan membentuk gaya hidup seseorang.
Di Indonesia sendiri saat ini, tayangan-tayangan media massa yang bisa memberikan dampak positiv bagi yang menonton sangat dibutuhkan, bukan tayangan sinetron kejar tayang yang penuh dengan rekayasa berlebihan atau tayangan reality show yang sebenarnya bukan kejadian real.
Ada ungkapan yang pernah saya dengar “Barangsiapa menguasai informasi maka dia akan menguasai dunia dan seseorang yang memiliki informasi pasti menang.” Mungkin itu yang menyebabkan media mau tak mau saling bertarung untuk merebut perhatian khalayak. Lalu efek yang ditimbulkan oleh media tersebut sangat erat kaitannya dengan perubahan pengetahuan , sikap atau perilaku yang disebabkan oleh pemberitaan atau tayangan media massa.
Realitasnya memang media sekarang lebih mengejar rating atau keuntungan dibanding dengan lebih mementingkan sisi moral atau pendidikan. Media juga cenderung “latah” atau seragam dalam membuat program-program acara, misalnya saja jika ada salah satu stasiun TV yang membuat sebuah program acara  dan ratingnya bagus, maka stasiun TV lainnya akan mengikuti membuat program acara tersebut. Contoh lainnya ketika memasuki bulan puasa, dari delapan stasiun TV pada acara sahur, tujuh stasiun TV menyiarkan acara lawakan yang sangat heboh, dan hanya satu stasiun yang menyiarkan seorang Da’i berkhotbah tentang makna berpuasa. Realitas ini menunjukkan bahwa hal ini terjadi lebih karena masalah rating.
Kebebasan Pers sendiri terjadi di Indonesia setelah lahirnya orde reformasi yang menggantikan orde lama dimana pada masa itu kebebasan media sangat dikekang. Sangat jauh berbeda dengan saat ini, media massa dengan bebas mempublikasikan segala informasi tanpa ditutupi sedikit pun sehingga semua permasalahan yang ada di negeri ini dapat dikonsumsi oleh masyarakat luas. Yang lebih mengerikan, media massa cenderung telah dipergunakan untuk mempengaruhi pendapat masyarakat luas dan mengarahkan kepada tujuan tertentu.
Apakah ini yang dimaksud dengan kebebasan pers? Kebebasan pers yang dibarengi dengan norma dan nilai yang positiv tentu itu lah kebebasan pers yang diharapkan. Bukan kebebasan pers yang tak mementingkan norma dan nilai yang akan berdampak negativ bagi khalayak. Kebebasan itu perlu dibatasi agar tak melampaui batas.
Media yang paling banyak dikonsumsi atau digemari oleh masyarakat antara lain adalah Televisi dan Internet. Namun tak banyak tayangan di TV yang menayangkan acara mendidik, sebut saja sinetron, infotainment, reality show dan lain-lain. Sepertinya sulit bagi media untuk dapat menyelenggarakan acara di TV yang menginspirasi dan bersifat mendidik, padahal tujuannya adalah untuk turut membangun karakter bangsa. Tayangan acara yang bersifat menginspirasi dan mendidik tersebut bahkan dapat dihitung jari dan sangat sedikit sekali, sebut saja tayangan Kick Andy dan Mario Teguh. Anehnya tayangan yang menginspirasi seperti itu kurang diminati oleh masyarakat, termasuk kalangan remaja yang kebanyakan lebih suka menonton acara musik seperti Dahsyat atau Inbox.
Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa media lebih banyak menyuguhkan tayangan acara yang bersifat menghibur. Tapi ada pula acara di TV yang menggabungkan acara yang mendidik yang dikemas dengan sesuatu yang menghibur.
Salah satu dampak yang paling ditakutkan dari media massa adalah kekuatan media dalam mengubah dan membentuk gaya hidup seseorang, dan perubahan nilai yang terjadi, yang dulunya tidak boleh, sekarang jadi boleh, itulah salah satu dampak negativ media massa dalam mempengaruhi perubahan nilai.
Media memang mempunyai dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat, oleh karena itu kita harus bisa memilih tayangan yang baik dan sesuai. Mulai lah dengan memberi tayangan yang mendidik bagi anak kecil. Sebenarnya tayangan kartun Spongebob atau Bernard yang ditayangkan di stasiun TV harus dihindari untuk ditonton anak-anak, karena tayangan tersebut menayangkan karakter-karakter tokohnya yang bisa jadi salah satu alat pembodohan bagi anak-anak dan bisa berdampak pada ditirunya karakter bodoh mereka. Tayangan lainnya yang harus dihindari adalah tayangan kekerasan. Untuk itu dibutuhkan media literacy (melek media) bagi setiap orang agar mampu mengakses atau mengkomunikasikan pesan dalam media dan mengevaluasinya secara kritis.
Kebebasan pers di Indonesia memang telah melampaui batas, hingga semua yang terjadi di negeri ini tak ubahnya seperti sandiwara atau drama yang direkayasa. Media massa juga telah dijadikan suatu alat bagi orang yang punya kepentingan sendiri untuk memenuhi tujuan yang diinginkan.
Kebebasan pers jangan dimanfaatkan kepada hal-hal yang bisa merusak, namun harus diimbangi dan dibatasi agar tidak melampaui batas.
  • Media massa seharusnya dapat memberikan informasi yang obyektif untuk masyarakat.
  • Kebebasan media massa harus dikendalikan oleh negara, agar tak berdampak buruk bagi masyarakat dan negara.
  • Kualitas tayangan media massa harus ditingkatkan dalam upaya membangun karakter bangsa.
  • Diharapkan agar semua pihak penyelenggara media massa untuk tidak mencari keuntungan semata.
  • Masyarakat juga diharapkan agar sudah melek media, supaya bisa memilih dan menilai tayangan yang layak untuk disimak.
  • Kita sebagai generasi muda juga harus memperbaiki kualitas media massa kearah yang lebih baik. 
Upaya-upaya diatas tentunya harus dilakukan dengan peranan pemerintah, masyarakat , tokoh agama dan para individu dari semua lapisan agar bisa menentukan berhasil tidaknya upaya yang dilakukan tersebu 

Menuntut Ilmu agama berbekal semangat

Semangat mereka ketika belajar Tajwid (Doc. Pribadi)
Seperti biasa, sore itu sehabis shalat Ashar anak-anak di sekitar lingkungan Mesjid Al-Manan Desa Padamukti Kecamatan Solokanjeruk, pergi ke Madrasah untuk mengaji. Tempat yang tidak terlalu mewah namun tidak terlalu kumuh juga, disitulah anak-anak mulai dari usia 5 tahun sampai 13 tahun belajar ilmu agama.Bagi mereka menuntut ilmu tidak hanya dilakukan di sekolah formal saja, namun juga dilakukan di lingkungan Madrasah, dimana mereka bisa belajar ilmu agama secara lebih luas.
Semangat anak-anak yang kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu itu patut di acungi jempol. Ditengah-tengah era globalisasi ini mereka masih mau menuntut ilmu agama, yang mana jika dilihat anak-anak sekarang sudah terkontaminasi oleh kemajuan teknologi dan segala hal yang serba instan, terutama di masyarakat perkotaan. Ternyata masih ada anak-anak di kampung yang semangat setiap hari pergi ke mengaji.
Pergi mengaji mereka terapkan sudah seperti sebuah kewajiban, tanpa ada paksaan. Pihak mesjid dan pengajar pun tidak menuntut sepeser uang atau SPP dari murid-muridnya. Awalanya, seorang tokoh agama di lingkungan mesjid merasa prihatin dengan kondisi anak-anak yang kurang mampu tidak dapat pergi ke TKA atau TPA dikarenakan tidak punya uang untuk membayar SPP ngaji. Oleh inisiatifnya itulah dia membebaskan biaya mengaji di Madrasah yang diberi nama Madrasah Al-Ikhlas itu.
Asri, salah seorang guru yang mengajar di Madrasah merasa bangga masih ada anak-anak yang mau mengaji di Madrasah itu. Dengan kondisi yang sederhana jika dibandingkan dengan TKA atau TPA yang ada disekitar sana, murid-muridnya masih percaya bahwa kualitas Madrasah tempat mereka mengaji sejajar dengan TKA dan TPA yang ada.
Pelajaran yang diberikan pun tidak jauh berbeda, mereka setiap hari diwajibkan tadarus Iqra’ atau Al-Qur’an, belajar menghapal surat-surat pendek, menulis huruf Arab, belajar sejarah agama Islam, menghapal urutan nama-nama surat beserta artinya, belajar tajwid Al-Qur’an, dan masih banyak lagi.
Anak-anak yang berasal dari berbagai golongan usia itu, dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok anak yang masih Iqra’ dan anak yang sudah bisa membaca Al-qur’an. Bagi anak yang belum masuk Sekolah Dasar, mereka juga diajari dasar-dasar belajar huruf, membaca, menulis, berhitung layaknya di TK.
Lulusan dari Madrasah ini pun tidak mengecewakan, Febi salah seorang anak yang belajar di Madrasah Al-Ikhlas ini sudah bisa membaca, menulis dan berhitung sebelum masuk SD. Orangtua Febi mengaku saat itu ia tidak punya biaya untuk memasukkan Febi ke TK. Dan hasilnya tidak mengecewakan, orangtua Febi merasa bangga anaknya bisa mengaji di Madrasah Al-Ikhlas dan hingga saat ini Febi masih mengaji di Madrasah itu.
Bagi Asri dan Jijah yang juga mengajar di Madrasah itu, mengajar anak-anak mengaji bukan soal bekerja atau sebuah profesi yang harus dibayar. Melainkan sebuah pengabdian kepada masyarakat agar anak-anak di tempat mereka tinggal tidak menjadi anak-anak yang tidak tahu agamanya sendiri. “Belajar agama itu sangat penting, dan mengajarkan ilmu agama kepada orang lain bagi saya sangat mulia”, begitu ungkap Asri.
Asri dan Jijah ikhlas menerima imbalan hanya seratus lima puluh ribu rupiah setiap bulannya, itupun harus mereka bagi dua. Dengan atau tanpa imbalan, mereka mengaku ikhlas mengajar. “Mengajar itu hitung-hitung belajar juga, daripada diam di rumah tidak ada kerjaan”, ungkap Jijah yang juga masih sekolah di kelas tiga sekolah menengah itu.
Keceriaan anak-anak selalu membuat mereka juga ikut semangat dan senantiasa menyadari bahwa hidup ini punya makna untuk selalu berbagi. Walau diakui mereka bahwa setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, namun hal itu tidak membuat keinginan mereka untuk mengajar surut. Justru hal itu lah yang selalu membuat mereka terus belajar dan belajar untuk lebih meningkatkan kualitas mereka mengajar.
“Disini kita mengajar untuk berbagi sekaligus belajar arti kehidupan yang sesungguhnya, karena hidup untuk berbagi itu sangat indah” tutur Asri sembari tersenyum.

Sudahkah Buruh Sejahtera Hari ini?


Doc. Pelitaonline.com
Unjuk rasa yang dilakukan buruh terus berulang setiap tahun, mereka berunjuk rasa untuk isu yang sama yakni mengenai upah. Tiga pihak yang terkait di dalam isu ini yaitu pemerintah, pengusaha dan buruh, agaknya melihat persoalan ini dengan cara pandang yang berbeda sehingga sulit menemukan titik temu.
Untuk tahun 2012 saja, di Karawang, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia mengancam akan melakukan aksi mogok kerja secara massal jika upah minimum kabupaten pada 2012 tidak dinaikkan menjadi 100 persen Kebutuhan Hidup Layak yang angkanya mencapai Rp1.387.133.  Di  Bekasi, sekitar 1.000 orang buruh dari Gerakan Serikat Buruh Indonesia (Gesburi) berunjuk rasa menuntut kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kantor Bupati Bekasi, Jawa Barat. Mereka  menuntut Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk menaikkan UMK sebesar 100 persen dari UMK tahun 2011. Di Kabupaten Bandung, sekitar 25 ribu buruh dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) berunjuk rasa di depan komplek Pemkab Bandung. Mereka mendesak kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) 2012 sebesar 10 persen UMK 2011 Rp1.123.800 . Sementara itu di Kota Bandung, Kadisnaker Kota Bandung Hibarni Andan Dewi mengimbau perusahaan untuk patuh jika UMK 2012 yang diusulkan naik tujuh  persen, nantinya disahkan.  Dengan kenaikan itu maka UMK Kota Bandung akan naik dari Rp 1.271.625 pada 2012 dari yang sebelumnya Rp 1.188.435.
Demo para buruh yang menuntut kenaikan gaji UMR terbilang memprihatinkan dan menyedihkan. Mengapa memprihatinkan? Karena saat ini untuk menaikkan kesejahteraan, para buruh harus terlebih dahulu melakukan aksi demonstrasi.  Kemudian sekaligus menyayangkan, karena sistem produksi di banyak pabrik lumpuh serta mengganggu ketertiban umum. Banyak orang yang pro dan kontra mengenai aksi buruh ini, ada juga orang yang peduli dan skeptis.  Tetapi banyak pertanyaan berapa sebetulnya gaji UMR di tiap Kota di Indonesia di tahun 2012?
Orang yang menganggap skeptis berpikir bahwa aksi yang dilakukan para buruh ini tentunya tidak harus sampai menutup akses jalan. Kemudian bagaimana apabila produksi pabrik mereka bekerja lumpuh, kemudian perusahaan gulung tikar? Bukankah mereka menjadi tidak bisa bekerja dan mendapatkan uang lagi? Kemudian orang skeptis yang terakhir mengatakan apabila gaji mereka kecil, mengapa tidak pindah atau berwirausaha? Tetapi apapun yang dilakukan para buruh menuntut kenaikan gaji UMR 2012 ini memang harus dilakukan karena melihat semakin naiknya harga-harga barang kebutuhan pokok.
Tidak bisa dipungkiri memang, diantara banyak permasalahan seputar buruh, permasalahan mengenai kesejahteraan merupakan masalah yang sensitif yang selalu dibicarakan karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Dari tahun ke tahun permasalahan klasik yang muncul adalah keinginan buruh untuk menaikkan upah mereka. Hal ini dikarenakan upah yang mereka terima tidak sebanding atau mencukupi untuk memenuhi kebutuhan riil. Kalau diibaratkan kenaikan harga kebutuhan pokok "berlari" sedangkan upah buruh justru "jalan ditempat" tidak ada peningkatan atau malah justru mundur.
Di Indonesia, ketika kita berbicara tentang buruh, buruh itu selalu diidentikkan dengan kemiskinan, kumuh, untuk makan "harus gali lobang tutup lobang", termarginalkan. Buruh inilah yang kemudian dilihat dari tingkat kesejahteraannya berada pada level bawah masyarakat. Padahal, buruh itu merupakan salah satu unsur pendukung dari unit produksi yang memegang peranan penting dalam menghasilkan suatu produk.
Di sisi lain, pengusaha atau pemilik modal selalu melihat buruh sebagai budak yang mereka pekerjakan dengan upah seadanya sesuai kemampuan pengusaha, sehingga tidak jarang upah buruh yang sudah minim dipotong sana sini bahkan di tunda pembayarannya gara-gara alasan ketidakmampuan pemilik modal. Buruh dipandang sebagai faktor produksi yang sama dengan faktor produksi lain misalnya bahan baku, yang apabila tidak dibutuhkan lagi akan diganti, dibuang seenaknya tanpa ada kompensasi dan memiliki keuntungan di mata pemilik modal. Mereka hanya layaknya sebuah alat produksi yang menghasilkan barang. Kondisi yang seperti ini akan menciptakan kebosanan dan akhirnya akan menurunkan produktivitas. Rendahnya produktivitas inilah yang menjadi senjata pemilik modal untuk memberikan tingkat kesejahteraan buruh yang sangat rendah.
Kemudian posisi buruh yang serba sulit juga disebabkan oleh hubungan antara buruh dan pengusaha. Dimana-mana, antara buruh dan pengusaha selalu memiliki perbedaan kepentingan yang mendasar. Di pihak buruh, motif utama ia bekerja kepada pengusaha adalah untuk mendapat upah, sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan untuk berproduksi. Upah yang diharapkan tidak hanya sekedar untuk memulihkan tenaganya agar dapat bekerja kembali keesokan harinya (sekedar hidup), namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya secara layak sesuai dengan standar manusiawi. Di pihak pengusaha, laba dan terus mendapatkan laba sebanyak-banyaknya adalah tujuan yang utama.
 Dua kepentingan yang bertolak belakang tersebut akan menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara buruh dengan pengusaha. Buruh tidak bisa menuntut apa-apa karena hidup mereka berada ditangan pengusaha. Solusi yang mungkin bisa membantu buruh adalah munculnya peran pihak ketiga yang mampu menjembatani sekaligus memiliki kekuatan untuk menekan pengusaha yang dalam posisi ini dipegang oleh pemerintah. Kenyataannya, pemerintah pun kemudian tidak bisa berbuat apa-apa bahkan cenderung di atur pengusaha sehingga buruh harus memperjuangkan nasibnya sendirian.
Kadang kala, buruh dituntut untuk berkompetisi dengan buruh lain untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas mereka demi mengejar kesejahteraan (bonus) yang lebih besar. Dengan kata lain, antar sesama buruh kemudian saling bersaing satu sama lain yang dalam konteks solidaritas kemudian inilah yang menghambat terbentuknya solidaritas kolektif sesama buruh. Konsekuensinya, serikat buruh tidak mendapat dukungan penuh dari semua buruh dan pemilik modal diuntungkan dengan kondisi ini.
Sistem kontrak dan outsourcing pun turut menjadi faktor penyebab sulitnya kaum buruh untuk mendapatkan kesejahteraannya. Sistem kontrak memunculkan praktek eksploitasi terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Buruh harus menyalurkan beberapa persen dari gaji mereka yang minim untuk disalurkan pada perusahaan yang membawa mereka. Hal ini terpaksa harus mereka lakukan demi mempertahankan pekerjaan mereka. Bagaimana buruh mau sejahtera?
Upah kerja yang diterima buruh diibaratkan minimum, namun jam kerjanya maksimum. Bayangkan saja, umumnya pekerja itu di upah dengan ukuran perjam, tetapi di Indonesia untuk delapan jam mereka membayar upah sama dengan upah karyawan satu jam. Walaupun upah yang mereka terima sangat minim, tetapi pekerjaan yang harus mereka lakukan persis sama dengan karyawan tetap. Problem lainnya, selama ini upah buruh tidak sebanding dengan pengeluaran yang harus buruh keluarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Upah yang diterima mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri.
Permasalahan mengenai peningkatan kesejahteraan buruh kiranya tidak akan dapat dipecahkan oleh buruh sendiri atau negara bahkan pengusaha. Masing-masing pihak tentu mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Buruh tentu saja ingin meningkatkan taraf kehidupannya, negara ingin berperan besar dalam mengetas kemiskinan dan membuka banyak lapangan kerja, dan pengusaha selalu berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ketiga pihak inilah yang kemudian dituntut untuk saling berdiskusi satu sama lain untuk memberikan pemecahan dalam kaitannya dengan kesejahteraan buruh.
Solusi pertama datang dari buruh, yakni dengan meningkatkan solidaritas kaum buruh. Serikat buruh dapat dijadikan ujung tombak, tapi harus benar-benar solid jika ingin melakukan perubahan. Kita dapat berkaca pada beberapa negara maju yang efektif memanfaatkan serikat buruh untuk mengubah suatu kebijakan.  Dan salah satu cara yang bisa dikembangkan dari serikat buruh ini adalah dengan membentuk koperasi yang nantinya akan menjamin mereka apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Selain sebagai jaminan sosial, koperasi juga mampu menghimpun dana buruh untuk melakukan aksi.
Solusi kedua datang dari pemilik modal. Perubahan cara pandang mereka terhadap buruh harus diubah. Buruh bukan lagi alat atau faktor produksi, tetapi merupakan partner. Cara lain adalah dengan Corporate Social Responsibility (CSR) suatu bentuk tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat.
Solusi yang ketiga datang dari negara. Negara akan memainkan peran penting dalam peningkatan kesejahteraan buruh. Kebijakan mengenai UMR perlu disempurnakan. UMR harusnya berkaca pada tingkat kebutuhan riil tenaga kerja dan disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan yang pemerintah keluarkan seharusnya memenuhi sisi keadilan, sehingga negara tidak lagi lebih condong kepada pihak pemilik modal dan dijadikan boneka pengusaha, tetapi mampu menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan penjaminan hak-hak masyarakat.